LAPORAN
PRAKTIKUM
MATAKULIAH
SISTEM PERTANIAN
SEMESTER III
Disusun
oleh : Kelompok I Wijen
ARIFSON YONDANG
NIREM : 05. 1. 4. 12.
0370
KEMENTERIAN
PERTANIAN
BADAN PENYULUHAN DAN
PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN
SEKOLAH TINGGI
PENYULUHAN PERTANIAN (STPP) MAGELANG
JURUSAN PENYULUHAN PERTANIAN DI YOGYAKARTA
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Sistem Pertanian, dengan baik dan
tepat waktu.
Dalam penyusunan Laporan Praktikum ini
tentunya penulis tidak lepas dari
petunjuk, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak
Drs. Gunawan Yulianto, MM, MSi. selaku Ketua STPP Magelang .
2. Bapak
Ir. Sujono, MP. selaku Ketua Jurusan Penyuluhan Petranian di Yogyakarta.
- Bapak Ir. Nugrohotomo,
M.Sc. selaku Dosen Pengampuh Mata Kuliah Sistem Pertanian.
- Bapak Ir. Heriyanto,
M.S. selaku Dosen Pengampuh Mata Kuliah Sistem Pertanian.
- Bapak Agus
Wartapa, MP.SP. selaku Dosen Pengampuh Mata Kuliah Sistem Pertanian.
- Semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan laporan Praktikum Mata
Kuliah Sistem Pertanian.
Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan laporan praktikum ini masih banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun bobot materinya.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan penyusunan laporan praktikum dimasa yang akan
datang. Semoga laporan ini bermanfaat dan bisa menjadi acuan khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.
Yogyakarta, Januari 2014
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Wijen (Sesamum
indicum L.) merupakan tanaman minyak nabati yang bijinya mengandung minyak 35 -
63%, protein 20%, 7 jenis asam amino, lemak jenuh 14%, lemak tak jenuh 85,8%,
fosfor, kalium, kalsium, natrium, besi, vitamin B dan E, antioksidan dan alanin
atau lignin, dan tidak mengandung kolesterol (Suddiyam dan Maneekhao, 1997).
Wijen digunakan dalam aneka industri, antara lain bahan makanan ringan, dan
penghasil minyak makan, serta sebagai bahan baku untuk industri farmasi,
plastik, margarin, sabun, kosmetik, dan pestisida.
Sejak zaman
Yunani kuno, biji wijen memiliki potensi untuk meningkatkan vitalitas, sehingga
dijuluki si kecil dengan kekuatan ajaib (Yermanos, 1981). Oleh karena itu
minyak wijen dinamakan” The queen of the oilseed crop” (Raja dari minyak
nabati). Bungkil wijen (ampas) yaitu wijen yang sudah diambil minyaknya, sangat
baik untuk pakan ternak, atau sebagai lauk yang disebut ”cabuk”. Produk pangan
dari wijen bermanfaat bagi kesehatan karena dapat mengikat kelebihan kolesterol
dalam darah, pencegah pengerasan dinding pembuluh darah, memelihara kesehatan
hati dan ginjal, mencegah kanker, dan meningkatkan kebugaran serta vitalitas
tubuh. Wijen digolongkan sebagai bahan makanan dan minyak makan bermutu tinggi
karena kandungan mineral dan proteinnya tinggi serta berkadar asam lemak jenuh
rendah, sehingga tidak berdampak negatif terhadap kesehatan ( Winarno, 1993).
Wijen merupakan
tanaman sumber protein di wilayah kering (Weiss, 1971). Berdasarkan data FAO
(1990) produksi wijen di Indonesia sejak tahun 1987 menurun sangat drastis,
sehingga tahun 1988 kedudukan Indonesia berubah dari negara pengekspor menjadi
negara pengimpor wijen yang setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Impor pada
tahun 1992 sebesar 881 ton biji (Nurheru, 1996) dan pada tahun 1998 mencapai
940,450 ton biji dan 133,729 ton minyak (BPS, 1998). Selanjutnya pada tahun
2001 mencapai 3.722,472 ton biji dan 218,081 ton minyak (BPS, 2001).
Budidaya wijen
relatif mudah dengan risiko kegagalan kecil, input rendah dan mudah
ditumpangsarikan dengan tanaman pangan atau industri. Prospek budidaya wijen di
Indonesia cukup cerah, karena produksi di tingkat petani masih relatif rendah
300 kg – 400 kg/ha. Oleh karena itu peluang peningkatan produksi wijen nasional
masih terbuka karena areal lahan kering masih luas mencapai lebih dari 75%
lahan pertanian (Manuwoto, 1991 dalam Nurheru dan Soenardi, 2004).
Kendala dalam
pengembangan wijen adalah rendahnya produktivitas karena usahataninya dilakukan
secara ekstensif dan umumnya ditumpangsarikan dengan palawija atau padi gogo,
serta keterbatasan benih unggul berproduksi tinggi, sehingga wijen yang
dikembangkan berasal dari benih yang tidak jelas asal-usulnya. Akibatnya
produktivitas wijen petani masih rendah yaitu sekitar 400 kg/ha, padahal hasil
penelitian dapat mencapai di atas 1000 kg/ha, sehingga peluang untuk
meningkatkan produktivitas masih terbuka (Soenardi, 1992). Godin dan Spenley
(1971) melaporkan bahwa, produktivitas wijen di Amerika mencapai 930 kg/ha -
2240 kg/ha.
Di Indonesia
tanaman wijen tersebar hampir di semua daerah terutama daerah kering yang
ditanam pada musim penghujan. Pada tahun-tahun terakhir pengembangan tanaman
wijen juga banyak dilakukan di lahan sawah sesudah padi I (MK-I maupun (MK-II)
pada musim kemarau, seperti di Kabupaten Nganjuk, Sukoharjo, Sragen dan Ngawi
(Hariyono, 2005).
B.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum budidaya tanaman wijen ini
adalah untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa tentang bagaimana cara
membudidayakan tanaman wijen dengan sistem olah tanah. Manfaat praktikum Budidaya Tanaman kedelai
yaitu sebagai bahan pembanding bagi kegiatan praktikum lainnya, dan sebagai
media pembelajaran mahasiswa sebelum melakukan kegiatan penelitian ilmiah yang
sesungguhnya.
Kegunaan dari praktikum ini adalah
memberikan pengetahuan terhadap mahasiswa tentang teknik atau cara budidaya
tanaman pangan atau tanaman semusim serta sebagai bahan informasi dan referensi
bagi tentang jenis pangan lain selain pangan yang umum dikonsumsi seperti padi
dan jagung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi (Taksonomi) Tanaman
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan
berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping
dua/dikotil)
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Scrophulariales
Spesies : Sesamum indicum L.
B. Deskripsi
Tanaman
Wijen (Sesamum indicum L. syn. Sesamum
orientalis L.) adalah tanaman pangan berupa semak semusim yang
termasuk dalam famili Pedaliaceae. Tanaman ini dibudidayakan
sebagai sumber minyak nabati yang dikenal sebagai minyak wijen, yang
diperoleh dari ekstraksi bijinya. Afrika tropik diduga merupakan
daerah asalnya yang kemudian tersebar ke wilayah Timur hingga ke India dan Tiongkok. Di Afrika
Barat, ditemukan pula kerabatnya, S. ratiatum Schumach.
dan S. alabum Thom., yang di sana dimanfaatkan daunnya
sebagai lalap an
atau sayuran. S. ratiatum juga mengandung minyak, tetapi
mengandung rasa pahit karena tercampur dengan saponin yang juga bersifat
racun. Saat ini, wijen ditanam terutama di India, Tiongkok, Mesir, Turki, Sudan, Meksiko dan Venezuela (Anonim,
2010).
Tanaman wijen memiliki akar tanaman yang
bertipe akar tunggang dengan banyak akar
cabang yang sering bersimbiosis dengan mikoriza VA
(vesikular-arbuskular). Tanaman mendapat keuntungan dari simbiosis ini dalam
memperoleh air dan hara dari tanah. Penampilan morfologinya mudah dipengaruhi
oleh lingkungan. Tinggi tanaman bervariasi dari 60 hingga 120 cm, bahkan dapat
mencapai 2-3m. Batangnya berkayu
dan memiliki ruas-ruas atau buku-buku pada tanaman yang telah dewasa. Daun tunggal, berbentuk lidah
memanjang dan berhadapan. Bunga tumbuh
dari ketiak daun, biasanya tiga namun hanya satu yang biasanya berkembang
dengan baik. Bunga sempurna, kelopak bunga berwarna putih, kuning, merah muda,
atau biru violet, tergantung varietas. Dari bunga tumbuh 4-5 kepala sari. Bakal buah terbagi dua ruang, yang
lalu terbagi lagi menjadi dua kemudian membentuk polong. Biji terbentuk di
dalam ruang-ruang tersebut. Apabila buah masak dan mengering, biji mudah
terlepas ke luar, yang menyebabkan penurunan hasil. Melalui pemuliaan ,
sifat ini telah diperbaiki, sehingga buah tidak mudah pecah ketika mengering.
Banyaknya polong per tanaman, sebagai faktor penentu hasil yang penting
berkisar dari 40 hingga 400 per tanaman. Bijinya berbentuk seperti buah alpokat
(buah wijen berbentuk kapsul), kecil, berwarna putih, kuning, coklat, merah
muda, atau hitam. Bobot atau berat biji berkisar antara 1.000 biji 2-6 gram.
Tanaman wijen memerlukan suhu yang cukup tinggi untuk tumbuh (asalnya dari
daerah tropik). Tanaman ini cukup tahan terhadap kondisi kering, meskipun
hasilnya akan turun jika kurang mendapatkan pengairan. Di Indonesia, tanaman
wijen tidak terlalu luas ditanam. Di daerah Gunung Kidul , Yogyakarta, terdapat
area penanaman wijen yang tidak terlalu luas (Schuster, 1992).
Tipe perkecambahan pada tanaman wijen adalah hypogeal,
adalah pertumbuhan memanjang dari epikotil yang meyebabkan plumula keluar
menembus kulit biji dan muncul di atas tanah. Kotiledon relatif tetap berada
pada posisinya. Tanaman wijen tergolong tanaman yang menyerbuk sendiri sehingga
bunganya bersifat hermafrodit, yakni kepala putik diserbuki oleh tepung sari
dari bunga yang sama. Tetapi, dapat juga terjadi penyerbukan silang oleh
serangga, dan tidak pernah terjadi penyerbukan oleh angin. Lingkungan tumbuh
atau syarat tumbuh tanaman wijen memerlukan suhu yang cukup tinggi untuk
tumbuh. Tanaman ini cukup tahan terhadap kondisi kering, meskipun hasilnya akan
turun jika kurang mendapat pengairan. Untuk lahan kering dimusim hujan yaitu
wilayah yang bercurah hujan pendek, wijen ditanam pada awal musim penghujan
agar tanaman tidak mengalami hambatan suhu tanah, ketersediaan air, dan jasad
pengganggu (Weiss, 1971).
Varietas tanaman wijen terbagi ke dalam dua kelompok
besar, yaitu varietas bercabang dan varietas tidak bercabang. Pada tahun 1997
telah dilepas 2 (dua) varietas unggul wijen oleh Balai Penelitian Tembakau dan
Tanaman Serat (Balittas), yaitu var Sumberejo 1 (Sbr1) produktivitas 1-1,6
ton/ha dan habitus bercabang banyak dan Sumberejo 2 (Sbr2) dengan produktivitas
0,8-1,4 ton/hektar dan habitus tidak bercabang. (Dela SY, 2010).
Wijen sudah sejak lama ditanam manusia untuk
dimanfaatkan bijinya, bahkan termasuk tanaman minyak yang paling tua dikenal
dalam peradaban. Kegunaan utama dari tanaman wijen adalah sebagai sumber minyak
wijen. Bijinya yang berwarna putih digunakan sebagai penghias pada penganan,
misalnya onde-onde dan
kue kering dengan cara menaburkannya di permukaan penganan tersebut. Biji wijen
dapat dibuat sebagai pasta, misalnya makanan yang dapat diolah menjadi pasta
berupa butiran wijen yang ditabur ke spageti maupun macaroni (Schuster,
1992).
Kandungan gizi yang terdapat pada biji wijen
mengandung 50-53% minyak nabati, 20% protein, 7-8% serat kasar, 15% residu bebas
nitrogen, dan 4,5-6,5% abu. Minyak biji wijen kaya akan asam lemak tak jenuh ,
khususnya asam oleat (C18:1)
danasam linoleat (C18:2, Omega-6),
8-10% asam lemak jenuh , dan sama sekali tidak mengandung asam linolenat .
Minyak biji wijen juga kaya akan Vitamin E . Ampas biji wijen (setelah
diekstrak minyaknya) menjadi sumber protein dalam pakan ternak (Schuster, 1992).
C. Sistem Olah
Tanah
Sistem olah tanah yang dapat dimanfaatkan untuk
menanam tanaman wijen terdiri atas tiga metode atau cara, yaitu sistem olah
tanah konvensional (yang menggunakan guludan/ bedengan), sistem olah tanah
minimum (pada tanah yang subur atau gembur) dan sistem tanpa olah tanah.
1. Sistem Olah Tanah Konvensional (Guludan atau Bedengan)
Prinsip dari
sistem olah tanah konvensional (guludan atau bedengan) adalah mengolah tanah
secara keseluruhan, yaitu dengan cara manual dan menggunakan cangkul atau
linggis kemudian membongkar dan membalik tanah lalu diratakan. Tanah yang akan
ditanami tanaman harus dibersihkan dari tanaman pengganggu seperti gulma. Tanah
yang telah bersih kemudian dibentuk guludan atau semacam bedengan dengan
saluran drainasenya agar dapat membuang kelebihan air pada musim-musim
hujan. Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah
garis kontur atau memotong lereng. Tinggi tumpukan tanah sekitar 25–30 cm
dengan lebar dasar sekitar 30–40 cm. Jarak antara guludan tergantung pada
kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah, dan erosivitas hujan. Guludan
dapat diperkuat dengan menanam rumput atau tanaman perdu (Chairani, 2010).
Keuntungan
dari olah tanah konvensional adalah pertumbuhan tanaman akan subur sebab aliran
aerase atau pertuara udara dalam tanah menjadi lancar, pori-pori tanah juga
semakin banyak menyerap air dan unsur hara yang diperlukan tanaman. Namun, ada
juga kerugian dari pengolahan tanah konvensional yaitu membutuhkan tenaga kerja
yang lebih banyak dan penggunaan waktu juga kurang efisien sebab selain
membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak juga membutuhkan waktu yang agak
lama dibandingkan dengan olah tanah yang lain sebab dalam olah tanah ini, semua
permukaan tanah diolah tanpa terkecuali bahkan tanah yang tidak
ditanami (Chairani, 2010).
2. Sistem Olah Tanah Minimum (Pada Tanah Subur atau Gembur)
Pengolahan
tanah minimum hanya dapat dilakukan pada tanah yang gembur. Tanah gembur dapat
terbentuk sebagai hasil dari penggunaan mulsa secara terus menerus dan atau
pemberian pupuk (baik pupuk hijau, pupuk kandang, atau kompos) dari
bahan organik yang lain secara terus menerus. Penerapan teknik pengolahan tanah
minimum perlu disertai dengan pemberian mulsa. Keuntungan olah tanah
minimum adalah menghindari kerusakan struktur tanah, mengurangi aliran
permukaan dan erosi, memperlambat proses mineralisasi, mengefisienkan tenaga
kerja daripada pengelolaan penuh, dan dapat diterapkan pada
lahan-lahan marginal yang jika tidak dengan cara ini mungkin tidak dapat
diolah. Kerugian dari olah tanah minimum adalahpersiapan bedengan
yang kurang memadai dapat menyebabkan pertumbuhan yang kurang baik dan produksi
yang rendah, lebih cocok untuk tanah yang gembur, pemberian mulsa perlu
dilakukan secara terus menerus, herbisida diperlukan apabila pengendalian
tanaman pengganggu tidak dilakukan secara manual atau dilakukan
secara mekanis (Chairani,2010).
3. Sistem Tanpa Olah Tanah
Untuk sistem
tanpa olah tanah, juga bisa diterapkan pada tanah-tanah yang
subur atau gembur. Sistem tanpa olah tanah merupakan bagian dari konsep
olah tanah konservasi yang mengacu kepada suatu sistem olah tanah yang
melibatkan pengolahan mulsa tanaman ataupun gulma (tanaman pengganggu).
Budidaya pertanian tanpa olah tanah sebetulnya berangkat dari corak pertanian
tradisional yang dimodifikasikan, dengan memasukkan unsur kimiawi untuk
mengendalikan gulma, dalam hal ini herbisida. Persiapan lahan cukup dilakukan
dengan penyemprotan, gulma mulai mati dan mengering, lalu
direbahkan selanjutnya dibenamkan dalam
lumpur (Nursyamsi, 2004).
Persiapan
lahan pada sistem TOT (tanpa olah tanah) dapat dilakukan dengan
menggunakan herbisida. Glyfosat merupakan salah satu herbisida yang banyak
digunakan untuk mempersiapkan lahan TOT. Aplikasi herbisida pada lahan TOT
seringkali menimbulkan adanya pergeseran gulma yang tumbuh berikutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gulma yang tumbuh pada
saat persiapan lahan serta untuk membandingkan pengaruh saat aplikasi dan dosis
herbisida glyfosat terhadap pergeseran gulma (Nurjanah, 2011).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan
Tempat
Praktikum Budidaya Tanaman Wijen pada mata
kuliah sistem pertanian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 - Januari
2014 di lahan Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Magelang Jurusan Penyuluhan Pertanian
di Yogyakarta.
B. Alat dan
Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum
Budidaya Tanaman Wijen adalah cangkul, sekop, ember,
mistar atau meteran, patok, kamera digital, papan nama, dan alat
tulis-menulis. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah tali rapia, air, pupuk
kandang pupuk phonska dan benih tanaman Wijen (Sesamum indicum L).
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Hasil
Adapun metode dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Bersihkan
lahan yang akan ditempati untuk membudidayakan tanaman wijen.
2. Setelah
lahan dibersihkan dari gulma, lahan tersebut dicangkul atau dibajak dan diolah
tanahnya. Setiap kelompok memasang patok-patok setelah tanah diolah.
3. Masing-masing
kelompok membudidayakan 1 komoditi. Komoditi yang ditanam pada kelompok ini
adalah tanaman wijen. Setelah melakukan penanaman tanaman wijen dilakukan
pemeliharaan. Langkah-langkah pemeliharaan tanaman wijen sebagai berikut:
a. Penyiraman
b. Penyulaman
c. Penyiangan
d. Pemupukan
e. Pengendalian
hama dan penyakit
4. Lakukanlah pengamatan
setiap minggu, amati tiap perkembangan yang terjadi pada tanaman tersebut. Catat
dan ukur tinggi tanaman dengan mistar, jumlah daun, sertaambil gambar
komoditi yang ditanam pada tiap minggunya.
a.
Data Pengukuran Wijen Minggu
ke 5 Kelompok 1
Data
pengukuran wijen minggu ke 5
kelompok 1
|
||||||
Jumlah
sampel
|
Tinggi
tanaman
|
Jumlah
daun
|
Jumlah
bunga
|
|||
a
|
b
|
a
|
b
|
a
|
b
|
|
Tanaman 1
|
103
|
107
|
17
|
19
|
-
|
-
|
Tanaman 2
|
95
|
89
|
14
|
13
|
-
|
-
|
Tanaman 3
|
122
|
124
|
16
|
16
|
-
|
-
|
Tanaman 4
|
95
|
88
|
16
|
10
|
-
|
-
|
Tanaman 5
|
96
|
101
|
18
|
16
|
-
|
-
|
b. Data
pengukuran wijen minggu ke 6 kelompok 1
Data
pengukuran wijen minggu ke 6
kelompok 1
|
||||||
Jumlah
sampel
|
Tinggi
tanaman
|
Jumlah
daun
|
Jumlah
bunga
|
|||
a
|
b
|
a
|
b
|
a
|
b
|
|
Tanaman 1
|
113
|
117
|
21
|
23
|
2
|
4
|
Tanaman 2
|
105
|
103
|
17
|
16
|
3
|
2
|
Tanaman 3
|
128
|
131
|
21
|
21
|
5
|
4
|
Tanaman 4
|
103
|
97
|
21
|
22
|
3
|
2
|
Tanaman 5
|
106
|
113
|
24
|
23
|
4
|
4
|
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan dilokasih
Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Magelang Jurusan Penyuluhan
Pertanian di Yogyakarta merupakan Kegiatan sistem
pertanian tanaman wijen yang dikelolah oleh kelompok 1 merupakan suatu
bentuk pembelajaran mengenai sistem pertanian. Melalui kegiatan ini mahasiswa
mempelajari kegiatan sistem pertanian mulai dari hulu ke hilir. Tujuan dari
kegiatan ini bukan hanya sebagai cara mahasiswa mempelajari mengenai budidaya,
tetapi juga mahasiswa memperoleh pengetahuan tentang suatu sistem pertanian
yang akan dikembangkan di daerah asal.
Hasil pengamatan yang
dilakukan setiap minggu, yang dilakukan oleh kelompok 1, didapatkan hasil bahwa
pertumbuhan wijen pada minggu kelima dan minggu ke enam terlihat jelas ada
perubahan pertumbuhan yang sangat optimal. Pada beberapa minggu sebelum minggu
ke enam tidak dilakukan pengamatan, berhubung ada berbagai macam persoalan
sehingga pengamatan pada minggu-minggu sebelumnya tidak dilakukan. Dan setelah
pada minggu ke 7 dilakukan pengamatan, minggu berikutnya sudah tidak dilakukan,
karena sudah menghadapi ujian akhir semester sehingga, pengamatan hanya
dilakukan 2 kali, dan sebelum ujian akhir semester harus membuat laporan
praktikum, sehingga pengamatan berikutnya tidak dilakukan lagi.
Pengembangan wijen di lahan petani
banyak dilakukan secara monokultur, akan tetapi dengan pertimbangan risiko
kegagalan dan peningkatan pendapatan dapat ditanam secara tumpangsari,
tumpangsisip, atau campuran (dua tanaman atau lebih ditanam secara bersamaan).
Tanaman yang sudah pernah ditumpangsarikan dengan wijen antara lain jagung,
kapas, jarak kepyar, kacang hijau, kacang tanah, padi gogo (Soenardi dan Romli,
1994a). Dari hasil penelitian bila tumpangsari wijen dengan jagung dan setelah
jagung dipanen disisipi kacang hijau, akan meberikan penerimaan lebih besar
dari pada wijen monokultur, jagung monokultur, atau kacang hijau monokultur
(Soenardi dan Romli, 1994b).
Tujuan utama dari sistem pertanian
adalah menggambarkan keadaan lahan
pertanian sekarang dan yang akan datang, tentang bagaimana caranya untuk
mempertahankan keadaan lahan yang semakin hari semakin kekurangan unsur hara.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil praktikum yang dilakukan pada mata kuliah
Sistem Pertanian dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pengembangan sebuah
sistem pertanian harus memperhatikan iklim, agar dalam pembudidayaan suatu
komoditas tidak mengalami gagal panen akibat dari musim yang tidak tepat.
Pengembangan tanaman wijen pada praktikum ini,
merupakan suatu pembelajaran, agar mahasiswa dapat membandingkan bagi kegiatan
praktikum lainnya, dan sebagai media pembelajaran mahasiswa sebelum melakukan
kegiatan penelitian ilmiah yang sesungguhnya.
B. Saran
Pengembangan suatu komoditas tidak jauh dari iklim, untuk mengantisipasi
kerugian maka iklim harus diperhatikan agar tidak terjadi gagal panen. Untuk
mata kuliah sistem pertanian kalau bisa diganti waktu kuliahnya pada setiap
semester genap, agar bisa mengantisipasi gagal panen, seperti yang terjadi
sekarang. Akibat dari waktu yang tidak sesuai mengakibatkan pemasakan buah yang
seharusnya pada musim kemarau tetapi terjadi pada musim penghujan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.2010, wijen. diakses dari http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.
Anonima, 2010. Gandum. Diakses dari http://www.deptan.go.id/ditjentan/
Anonimb,2010. Sorgum. Diakses dari http://www.deptan.go.id
/ditjentan/admin
/rb/Sorgum.pdf . diakses pada tanggal 20 desember 2010.
Anonimc,2010. Sogum. Diakses dari http://www.batan.go. id/patir/_berita/
pert/ sorgum
/sorgum.html diakses pada tanggal 20 desember 2010.
Anonimd, 2010. Jewawut diakses dari. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id
.:pengelolaan
plasmanutfah-jagung -sorgum-gandum-jewawut
&cati .penelitian-2006
2007&Itemid=141. Pada tanggal 20 desember 2010.
Subiyakto
dan Harwanto. 1996. Hama tanaman wijen dan pengendaliannya. Monograf
Balittas (2) :31- 37.
Suprijono
dan Rusim Mardjono. 2004. Inovasi teknologi untuk pengembangan wijen.
Prosiding Lokakarya Pengembangan jarak dan wijen
dalam rangka otoda di Malang.
Puslitbangbun. 20 –24.
Suprijono,
R. Mardjono, dan H. Sudarmo. 2004. Stabilitas hasil beberapa galur wijen. J.
Littri
10 ( 4) : 127-130.
Suprijono,
R. Mardjono, Tukimin, dan Sudarmadji. 2006. Pemantapan galur-galur harapan
dan teknik budidaya wijen di lahan sawah sesudah
padi. Laporan hasil penelitian
2006, Balittas. Malang.
Widyaningsih Soemadi dan Abdul Mutholib. 1999. Pakan burung. Penerbit Penebar
Swadaya. Jakarta, 81 hlm.
hormon tumbuhan27 April 2016 21.55
BalasHapusPUSAT SARANA BIOTEKNOLOGI AGRO
menyediakan biotan untuk keperluan penelitian, laboratorium, mandiri, perusahaan .. hub 081805185805 / 0341-343111 atau kunjungi kami di https://www TOKOPEDIA.com/indobiotech temukan juga berbagai kebutuhan anda lainnya seputar bioteknologi agro